Rabu, 23 Desember 2009

KEBUDAYAAN DAN SEJARAH SUNDA


I. Kebudayaan Sunda

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. “Kegemilangan” kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?

Kalaulah kemudian tujuh daya hidup kreasi Rendra digunakan untuk mengelaborasi kebudayaan Sunda kontemporer, setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.

Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.

Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap “membumi” dengan masyarakat Sunda.

Kalaulah upaya untuk “membumikan” harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.

Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya “kumaha akang”, “teu langkung akang”, “mangga tipayun”, yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.

Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.

Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.

II. Sejarah Sunda

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas.


Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga.


Lokasi ibukota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.


Keterlibatan Kalingga

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.


Prasasti Jayabupati

Isi prasasti

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.


Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, “I wruhhanta kamung hyang kabeh” (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).


Tanggal prasasti

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.


Penyebab perpecahan

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.


Sanna dan Purbasora

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 – 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Shima.


Sanjaya dan Balangantrang

Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita “kemir” atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.


Premana, Pangreyep dan Tamperan

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin “garnizun” Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi “mata dan telinga” Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.


Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 – 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.


Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 – 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.


Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 – 766).

Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.

Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 – 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 – 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan (Saunggalah).


Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 – 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus “menyaksikan” Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.


Daftar raja-raja Sunda

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati yang berjumlah 20 orang :

1. Maharaja Tarusbawa (669 – 723 M)

2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).

3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).

4. Rakeyan Banga (739-766 M).

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).

6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).

7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).

8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).

9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 – 895 M).

10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913 M).

11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).

12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).

13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).

14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).

15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).

16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989 M).

17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).

18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).

19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030 M).

20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)

Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) – Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Jumat, 18 Desember 2009

Ida Betara Rangda




Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi.

Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.

Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau dirah) menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi. Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali. Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah Keajaiban Bali.

Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita Calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah “rasa takut” itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman [undagi] Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali. Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali.

Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagi upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk- makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya, somnya (dinetralkan). Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan ke alam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.

Puncak harmonisasi antara makhluk- makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.

Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.

Apa sesungguhnya ngereh itu? Beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain lontar Canting Mas dan Sewer Mas Widi Sastra, Ganapati Tattwa dan lontar Pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberi penjelasan mengenai ngereh dalam perspektif yang luas sehingga ada kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia, sebab dilakukan di kuburan pada tengah malam, adalah pengertian yang sempit. Meskipun demikian, pengertian ngereh yang sempit inilah yang hidup dalam benak masyarakat Hindu Bali.

Ngereh sebagai prosesi ritual-mistik di kuburan dan dilakukan pada tengah malam adalah tahapan akhir dari proses sakralisasi Petapakan Ida Betara Rangda. Untuk hal pertama, setelah Petapakan dipasupati oleh seorang pendeta (orang suci), maka diadakan ritual ngereh untuk mendapatkan Sakti Panca Durga (lima kesaktian Durga). Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut kedatangan roh atau kekuatan sakti itu, yang jelas proses ritual-mistik inilah yang unik dan sangat rahasia. Kerahasiaannya, antara lain dapat dilihat dari tidak banyaknya penduduk yang terlibat dalam prosesi ritual-mistik itu, bagi yang ingin melihat harus dari jarak tertentu, sehingga pengalaman mistik pelaku ngereh adalah pengalaman sedikit orang yaitu orang yang bisa hidup di alam supranatural Bali.

Prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Diperlukan Tiga Tingkatan Upakara

Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin. Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.

Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin.

Pengertian ketiga tingkatan upacara sakralisasi proses Ngereh Petapakan Betara Rangda diatas adalah sebagai berikut : Tingkat Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara Rangda. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.

Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara Rangda. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya). Tingkat Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Betara Rangda menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara Rangda mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali. Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara Rangda bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.

Jadi ritual Ngereh itu adalah peristiwa kesurupan, yang sengaja dibuat karena untuk membuktikan bahwa “topeng” yang diupacarai sudah memiliki kekuatan gaib untuk keselamatan masyarakat penyungsungnya (Pemujanya).

Tehnik Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda

Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).

Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa. Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut . suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.

Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.

Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :

1. Semut yang mengerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.

2. Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya dan gagallah dia.

3. Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia. 4. Celeng (babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.

5. Angin semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran, gagallah dia.

6. Kokok ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.

7. “Bikul nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.

8. “Talenan (alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.

9. Kedengaran bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).

Kalau yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.

Mengenai 9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.

Petapakan Ida Betara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga

Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.

Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu :Kala Durga, Durga Suksemi, Sri Durga, Sri Dewi Durga, dan Sri Aji Durga. Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.

Bali memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura.

Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).

Sedangkan ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.

Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.

Sarana Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Di Kuburan Berupa Pala Walung

“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan (sesajen sakral). Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning (pemujaan) kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku (orang suci) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekitar setra (kuburan). Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman (air suci dari air kelapa) dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik (suguhan berupa hidangan).

“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh.

“Pada hari pengerehan tersebut, juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi) gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut (pengusung) tersebut menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.

Pada tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam, barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja) oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).

Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang suci). Semua berada dalam jarak yang jauh”.

Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci (membersihkan diri) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Betara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).

Petapakan Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali.

Selasa, 08 Desember 2009

SEKILAS MENGENAI TATA RUANG KOTA GEDE YOGYAKARTA




Latar Belakang

Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif. Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja"

Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.

Kebudayaan yang berkembang di Yogyakarta merupakan warisan kebudayaan Mataram, tetapi setelah terjadi palihan negari (pembagian Kerajaan Mataram menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti), terjadi perkembangan budaya khas Yogyakarta baik yang menyangkut perilaku, sosial-ekonomi, kesenian, bahasa, dan tradisi. Kawasan Kotagede menjadi masih menjaga warisan kebudayaan Mataram tersebut. Di kawasan ini banyak dijumpai berbagai peninggalan bernilai sejarah dan budaya Mataram Islam yang masih terjaga dan terpelihara dengan baik.

Tata kehidupan masyarakat Kotagede yang nonagraris yakni mengandalkan usaha kerajinan, pertukangan dan usaha sejenis yang dahulu memang menjadi bagian dari kehidupan istana masih tetap terpelihara sampai kini dan memberikan atmosfer kehidupan budaya (living culture) yang unik serta memberikan warna khas bagi kebudayaan Yogyakarta.

Secara umum Kotagede dibangun atas dasar konsep kosmologis Jawa- Islam yang mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungawab, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Pembahasan

1. Sejarah Dan Budaya Kota Gede

Kota Gede merupakan cikal bakal keberadaan kerajaan Mataram Islam, baik dalam aspek politik maupun dalam aspek budaya. Mengapa? Karena Kota Gede adalah kota kerajaan pertama di dalam sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebagai kota kerajaan yang muncul pada akhir abad XVI Kota Gede mempunyai berbagai komponen kota sesuai dengan kebutuhan dan jamannya. Sebagian komponen tersebut masih meninggalkan jejaknya dalam bentuk pusaka budaya bendawi, seperti bangunan, dan pusaka budaya non bendawi, seperti nama-nama tempat, tradisi.

Pada kota kuno, terutama kota kerajaan masa Islam di Jawa, biasanya komponen itu tersusun dalam suatu pola tata letak tertentu. Diantaranya, di pusat kota terdapat kraton di sisi selatan Alun-Alun Utara, Masjid Agung di sisi barat alun-alun yang sama, dan pasar di sisi utara atau tmur laut Alun-Alun Utara. Di luar pusat kota terdapat pemukiman penduduk kota, taman, pemakaman kerajaan, atau komponen lainnya. Demikian pula halnya di Kota Gede.

Di dalam sejarah diketahui bahwa Kota Gede sejak masa pemerintahan Sunan Amangkurat I tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Namun karena di situ terdapat makam para pendiri kerajaan, Kota Gede tetap dianggap tempat yang sakral. Dengan demikian kehidupan di kota Gede tetap semarak, bahkan akhir-akhir ini makin berkembang adanya. Oleh karena itu ada pula tinggalan-tinggalan di Kota Gede yang berasal dari masa pra Perang Dunia II, seperti rumah-rumah masyarakat Kalang, dan rumah-rumah dengan arsitektur Jawa yang khas.

Kotagede adalah salah satu kota kuno di Propinsi DI. Yogyakarta yang tetap hidup dan semakin berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakat maupun keruangannya. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan meninggalkan warisan arkeologis berupa keraton atau kedhaton, benteng, tembok keliling, jagang, cepuri, masjid, makam, dan permukiman kuna. Komponen-komponen itu turut membentuk dan mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pendukungnya.

Ketika berdiri sebagai ibukota Mataram, Kotagede masih merupakan wilayah Kerajaan Pajang. Melalui proses panjang dengan berbagai pergolakan, Mataram menjadi kerajaan yang mampu menggantikan dominasi kekuasaan kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, ibu kota Mataram mengalami perpindahan dari Kotagede ke Kerta, Plerét, kemudian pindah lagi ke Kartasura, dan akhirnya menetap di Surakarta. Namun demikian, tidak seperti Kerta dan Plerét, Kotagede justru masih menyisakan tinggalan arkeologis yang jauh lebih bermakna. Selain itu, ia tetap eksis sebagai kota lama yang bertahan dengan dinamikanya hingga saat ini.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Kotagede masa lalu merupakan kota pusat kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kotagede disebut sebagai pusat kegiatan politik karena ia menjadi pusat pemerintahan kerajaan Mataram sejak pemerintahan Senapati hingga pusat kerajaan dipindahkan ke Kerta oleh Sultan Agung.

Pusat kegiatan ekonomi dapat dilihat dari penyebutan Kotagede dengan istilah Pasar Gedhé. Pada waktu itu pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan, sedangkan gedhé (besar) di belakang kata pasar menunjukkan skala pasar sebagai entitas yang besar sehingga menjadi pusat perdagangan baik hasil bumi maupun hasil industri pada masanya.

Kotagede juga disebut sebagai pusat kegiatan sosial budaya, di antaranya karena ia merupakan pusat kegiatan pembuatan kerajinan tangan (kriya), seperti yang tampak hingga sekarang. Selain itu berbagai kesenian dan tradisi masyarakat Kotagede juga masih terpelihara dengan baik. Kesenian itu antara lain salawatan, siteran, srandul, karawitan, ketek ogleng, wayang tingklung, ketoprak ongkek, macapatan, campursari, keroncong, dan lain sebagainya.

2. Tata Ruang Kotagede

Kotagede dibangun oleh Ki Gede Pamanahan atau lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram, setelah meninggal lalu dilanjutkan oleh Danang Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Panembahan Senopati. Pada masa pembangunan oleh Senopati inilah Kotagede berkembang secara pesat, tembok-kota mulai dibangun tinggi-tinggi, kemewahan Kotagede mampu menyaingi Ibukota Kesultanan Pajang. Panembahan Senopati membangun Kotagede ini konon berdasarkan kepada petunjuk yang diberikan oleh Sunan Kalijaga kepadanya. Pada awalnya tata ruang Kotagede dibangun secara tidak beraturan karena hanya hendak dijadikan Kademangan (desa) yang diberikan Sultan Hadiwijaya kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya yang berhasil membunuh Arya Penangsang, setelah pada Masa Senopati barulah Kotagede dibangun menjadi semacam Kotaraja untuk menyaingi Pajang. Walaupun tata ruangnya masih kurang teratur, disana-sini telah mengalami perbaikan atas petunjuk Sunan Kalijaga, malah di alun-alun kota ditanami Beringin Kurung, sebagai bukti bahwa Kotagede telah menjadi Kotaraja Mataram dan sebagai sarana penghadapan rakyat kepada Senopati.

Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan kota-kota lainnya yang ada di jawa, yaitu dibangun berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa- Islam yang mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungawab, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Upaya untuk mendapatkan keserasian tersebut dilakukan manusia Kotagede dalam keseluruhan kehidupannya, termasuk dalam perencanaan kota, arsitektur bangunan, kesenian yang berkembang, vegetasi dan hewan klangenan yang dimilikinya. Banyaknya kuburan dan tempat peribadatan di Kotagede mencerminkan keadiluhungan Kotagede, sebab sebuah penataan ruang fisik buatan yang masih mengingat perhambaan manusia di hadapan Tuhan dan disiapkan lahan untuk kematian, justru mencerminkan kesadaran luhur kemanusiaan ruang dan waktu, masing-masing dengan nilai kepentingan dalam keutuhan saling melengkapi. Sistem Kemapanan kebudayaan Kotagede dapat diamati karena nilai budaya Jawa Islam yang dijadikan landasan penataan Kotagede secara konseptual mengatur adanya tingkatan-tingkatan dalam tata nilai ini pula yang mengatur bagaimana manusia Kotagede harus berperilaku serta beraktivitas di dalam ruang maupun waktu kehidupannya. Kemudian secara tegas mempengaruhi aspek fisik sebagai wadah berlangsungnya kegiatan manusia Kotagede.

Kotagede berorientasi pada pajupat, sebuah konsep yang diyakini dapat memelihara getaran spiritual, sehingga tercipta keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Pajupat, memiliki empat kekuatan yang mendukung dan merupakan tempat yang mampu menggali kuasa-kuasa ’metafisis’. Konsep denah dibuat mengikuti sepanjang garis lurus poros aksis dan dipercaya memiliki kekuatan yang disebut Krendowahono.

Empat kekuatan alam tersebut berasal dari Gunung Merapi yang berada di utara; matahari terbit dan Gunung Lawu di timur; Samudra yang besar di selatan; dan Kali Progo disebelah barat. Keempat kekuatan tersebut hadir bersamaan dalam konsep untuk menjaga keselarasan (harmony).

Kotagede sebagai Kotaraja tidak semata-mata bentuk dan fungsi, tetapi hal-hal yang bersinggungan dengan nilai, makna dan arti merupakan hal-hal yang melandasinya, seperti tercermin dalam ungkapan Panembahan Senopati sebagai berikut:

“Kotagede, haywa kongsi dinulu wujude wewangunan kewala, nanging sira padha nyumurupana sarta hanindakna maknane kang sinandi, dimen dadya tuntunan laku wajibing urip hing dunya tumekeng delahan.”
Artinya:
“Janganlah Kota Gede hanya dilihat dari wujud/bentuk bangunan fisiknya saja, tetapi hendaknya diketahui, dimengerti serta dijalankan makna pesan-pesan yang tersirat dan tersurat, agar dapat menjadi tuntunan menjalankan kewajiban hidup di dunia dan akhirat”.

Kotagede masih menyimpan peninggalan-peninggalan penting seperti altar singgasana, batu gilang, makarn Hasta Rengga, masjid Agung, kolam pemandian Seliran, situs Kraton lain dan toponim kampung yang mencerminkan tata kota tidak pernah kehilangan kewibawaan sebagai pusat perhatian tradisi Jawa-lslam, khususnya karena terdapat makam pendiri kerajaan aslinya.

Kotagede merupakan situs bekas ibu kota pertama pusat pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam. Sesuai dengan fungsnya sebagai pusat pemerintahan, Kotagede tampak telah ditata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, serta memiliki tata ruang dan komponen-komponen kota seperti lazimnya kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Islam.

Tata ruang Kotagede disusun berdasarkan pembagian fungsi atas ruang. Pada tata ruang Kotagede lama Alun – alun yang berfungsi sebagai pusat kegiatan kota terletak didepan Kraton. Dan Masjid yang berfungsi sebagai pusat ibadah dan dakwah terletak sebelah barat. Pasar sebagai pusat perekonomian terletak di sebelah utara alun – alun. Aktivitas ekonomi kerajinan di pisah-pisahkan sehingga menghasilkan nama kampung sesuai aktivitas penduduk setempat. Kota di kelilingi Benteng dengan Jagang disebelah luar.

Orientasi tata kota lama Kotagede dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan yang ada. Berikut ini akan diuraikan secara singkat unsur-unsur kota yang ada di Kotagede berdasarkan data arkeologis, toponim, dan legenda.

a. Pasar

Komponen kota yang signifikan di Kotagede adalah pasar yang berfungsi menunjang perekonomian masyarakat. Di suatu pusat pemerintahan di Jawa, pasar biasanya ditempatkan di dekat kraton, yaitu di sebelah utara alun-alun. Tradisi penentuan tata letak pasar di lokasi yang strategis telah dilakukan jauh sebelum Kerajaan Mataram Islam terbentuk. Penempatan pasar di sebelah utara kraton dan di dekat jalan seperti yang juga terjadi di Kotagede itu bahkan telah disebut dalam kitab Negara Kertagama, pupuh VIII dan XII.

Pada kasus Kotagede, pasar sudah terlebih dahulu ada sebelum dibangunnya Kraton Mataram Awal. Ini terlihat dari gelar Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram-Islam yang bertahta di Kotagede, yaitu Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Gelar tersebut diperoleh sebelum Senapati menjadi Raja Mataram. Berdasarkan gelar tersebut, dapat diperkirakan bahwa toponim Lor Pasar dahulu merupakan kediaman Panembahan Senopati sebelum Kraton terbentuk.

Pasar Gede yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan Mataram itu tetap menjadi pasar kerajaan sekaligus pusat perekonomian dan perdagangan. Komponen-komponen kota lain, seperti kraton, masjid, dan alun-alun dibuat dan ditempatkan sesuai dengan tata letak pola tradisional, yaitu di sebelah selatan pasar. Dibandingkan dengan letak alun-alun dan masjid, maka pasar berada pada bagian paling luar dari kraton itu. Letak pasar sebagai pusat perekonomian dan perdagangan menjadi sangat strategis, dengan jalan utama di dekatnya sebagai sarana distribusi serta transaksi barang dan jasa. Keberadaan sebuah pasar di dalam suatu kota dapat dipandang sebagai focus point yang memunculkan tempat-tempat tinggal kelompok masyarakat penghasil barang dan jasa di sekitarnya.

Pasar Gedhe sekarang masih tetap merupakan pasar tradisional yang menjual berbagai macam produk tradisional dan produk lainnya. Di pasar yang sudah mengalamI rehabilitasi ini transaksi jual beli masih dilakukan secara tradisional dengan proses tawar menawar. Letak yang strategis dari pasar ini menjadikannya sebagai salah satu titik perhatian di Kotagede.

b. Sisa-sisa Kraton

Istana (kraton) Kotagede berada di tengah area yang dahulu dikelilingi tembok kraton, yakni di lingkungan Kelurahan Singosaren, di Kampung Dalem. Di lokasi itu terdapat nama kedhaton yang mempunyai arti kata yang sama dengan kraton (istana) sebagai tempat pemerintahan atau tempat tinggal raja. Keberadaan kedhaton di lokasi itu hingga kini diyakini sebagai tempat kediaman penguasa Mataram Islam pada masa awal yaitu Panembahan Senopati.

Data arkeologis yang memperkuat hal tersebut adalah sisa-sisa tembok keliling (cepuri) sebagai pengaman dan sekaligus batas kompleks istana. Kondisi cepuri saat ini sudah banyak yang rusak, bahkan di beberapa tempat sudah rata dengan tanah. Bagian sudut cepuri terlihat masih utuh di bagian tenggara area Kedhaton. Penduduk setempat menyebutnya dengan istilah bokong semar karena bentuknya yang menyudut. Untuk memperkuat upaya pertahanan wilayah, di luar cepuri dibuat parit (jagang). Keberadaan jagang di luar cepuri masih dapat dilihat di sisi timur, selatan, dan barat. Pada saat ini jagang-jagang tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai kebun atau halaman rumah.

Di lokasi Kedhaton tersebut juga terdapat nama Kampung Dalem. Pada masa kerajaan Mataram, Dalem merupakan tempat tinggal bagi golongan bangsawan dan elit politik. Oleh karena itu, letak Dalem berdekatan dengan Kraton. Pada saat ini daerah Dalem merupakan kompleks makam Astanarengga yaitu kompleks makam para bangsawan keturunan/sentana raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Di areal ini terdapat pula, watu gilang, watu canteng, lapik arca, dan sebuah tempayan batu.

c. Alun-alun

Nama Kampung Alun-alun di sebelah utara Situs Kedhaton menandai keberadaan alun-alun Kotagede pada masa. Alun-alun merupakan komponen kota yang penting karena berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara kebesaran dan kegiatan istana lainnya, termasuk penyiaran agama. Oleh karena itu, letak alun-alun biasanya berdekatan dengan Masjid Agung sehingga secara fungsional dapat pula dikatakan sebagai pelengkap bangunan masjid. Pada saat ini Kampung Alun-alun yang diperkirakan sebagai alun-alun Kerajaan Mataram telah dipadati permukiman penduduk.

d. Kompleks Masjid Agung dan Makam Agung

Kompleks Masjid Agung dan Makam Agung terletak di sebelah barat Alun-alun, dibatasi oleh jalan membujur utara-selatan. Di tempat ini terdapat dua pohon beringin yang menurut legenda ditanam oleh Sunan Kalijaga. Di sebelah barat pohon beringin terletak bangunan Masjid Agung yang digunakan oleh umat Islam. Di sebelah barat masjid terletak Makam Agung sebagai makam raja-raja Mataram beserta keturunannya.

e. Tembok Keliling

Saat ini tembok keliling kraton dan tembok keliling kota hanya berupa reruntuhan batu bata dan batu putih. Batu-batu ini sekarang banyak digunakan sebagai bahan bangunan oleh penduduk sekitar. Kedua tembok keliling itu dibangun oleh Sutawijaya (kemudian bergelar Panembahan Senapati) setelah ia menggantikan ayahnya sebagai penguasa tanah Mataram, dengan maksud untuk memperkuat wilayahnya.

Pembangunan tembok-tembok keliling dan kelengkapannya dikerjakan pada tahun 1587 M, di bawah pengawasan Senapati Kediri, yaitu bangsawan Kediri yang menyerah kepada Sutawijaya. Setelah membangun tembok keliling kraton dan juga tembok keliling kota, Sutawijaya menyerang dan berhasil mengalahkan Pajang. Ia kemudian menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama, dan menjadikan Kotagede sebagai ibukota kerajaannya.

f. Permukiman Penduduk

Berdasarkan peninggalan arkeologis dan toponim dapat diketahui bahwa Kotagede terdiri atas sejumlah kampung yang dihuni oleh kelompok masyarakat tertentu, yang ditunjukkan antara lain melalui nama-nama kampung yang berhubungan dengan profesi, status sosial, atau nama seorang tokoh. Toponim di Kotagede yang dapat dirunut hingga saat ini adalah Pandheyan, Samakan, Sayangan, dan Mranggen (perajin), Lor Pasar, Prenggan, Trunojayan, Jagaragan, Boharen, Purbayan, Jayapranan, Singosaren, Mandarakan (nama tokoh dan bangsawan), Kauman, Mutihan (rohaniawan dan ulama), Alun-alun, Kedhaton, dan Dalem (komponen istana). Yang berhubungan dengan tumbuhan misalnya Patalan dan Basen. Selain itu, terdapat Kampung Tegalgendu yang terletak di luar benteng batas wilayah atau di sebelah barat sungai Gajah Wong.

g. Jalan Utama

Jalan utama di Kotagede terletak di sebelah utara pasar. Jalan ini berpotongan membentuk bujur sangkar dan mengikuti arah mata angin utama.

Beberapa pusaka budaya bendawi yang terdapat di Kota Gede adalah :

Masjid Agung Mataram

Masjid yang merupakan salah satu komponen asli Kota Gede ini berdiri di selatan kawasan Pasar Kota Gede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan, Bantul. Di halaman luar ada sepasang bangsal terbuka, dan beringin tua yang rindang. Di kanan kiri jalan masuk berdert rumah para abdi dalem, dan di ujung jalan itu berdiri sebuah gapura berbentuk paduraksa dengan atap bersusun tiga dan daun pintu dari kayu berukir. Seluruh halaman masjid termasuk makam di belakangnya dilingkungi oleh pagar tembok tinggi. Di belakang gapura tersebut berdiri sebuah rana/kelir sehingga untuk memasuki halaman masjid orang harus berbelok ke kanan.

Gaya arsitektur Masjid Agung Mataram adalah arsitektur masjid Nusantara, dengan atap tumpang bersusun tiga, mempunyai serambi dan masih ada parit yang mengelilingi masjid di tiga sisi. Dinding ruang utama dibuat dari balok-balok batu putih yang disusun tanpa spesi. Di dalam ruang utama masjid dapat dilihat empat saka guru dari kayu jati utuh, dengan usuk dan reng yang disusun ngruji payung, karena tidak ada plafon yang berfungsi sebagai langit-langit. Di dalam ruang utama tampak adanya ruang pengimaman/mihrab di dinding sebelah barat, dan mimbar kayu berukir. Di antara ornamen yang tertera adalah ragam geometris, sulur-suluran bahkan di kaki mimbar ada ornamen berbentuk sepasang binatang yang distilir dengan sempurna sehingga bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi.

Pasareyan Hastana Kitha Ageng

Nama tersebut di atas adalah sebutan untuk pemakaman kerajaan Mataram-Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Mataram, dan dibangun bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid yaitu tahun 1511 Saka = 1589 M. Hastana Kitha Ageng adalah pemakaman kerajaan yang pertama dibangun oleh dinasti Mataram-Islam. Pembangunan pemakaman kerajaan ini dilaksanakan atas perintah Panembahan Senapati dan dilakukan secara bertahap, bahkan sesudah Panembahan Senapati meninggal pun masih terus dilanjutkan. Tampaknya sebelum Panembahan Senapati memerintahkan pembangunan pemakaman itu, sudah ada beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut, diantaranya Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Panembahan Senapati. Setelah meninggal, ia dimakamkan di sebelah barat makam Ki Ageng Pemanahan sesuai dengan wasiatnya.

Seperti halnya Masjid Agung Mataram, pemakaman kerajaan ini juga dikelola Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta secara bersama-sama. Oleh karena itu, kepada peziarah dikenakan tata cara adat dalam hal berpakaian dan hari ziarah. Pakaian yang harus dikenakan adalah pakaian Jawa untuk menghadap raja tanpa mengenakan perhiasan, sedangkan hari ziarah adalah hari Senin dan Jumat. Secara umum, pemakaman ini terdiri dari dua unsur yaitu makam dan sendang (kolam) di sebelah barat daya. Adapun pintu masuk ke pemakaman berada di sebelah selatan halaman masjid. Pemakaman kerajaan ini mempunyai pagar keliling dari batu padas dan bata, serta terdiri dari tiga bagian/halaman. Halaman pertama berdenah segi empat seluas 27,5 x 30 m. Pada halaman ini terdapat sebuah bangsal tempat para abdi dalem berjaga dan mengurus administrasi peziarah. Halaman pertama ini bersifat profan, karena bersifat terbuka, dan peziarah dapat mengenakan pakaian sehari-hari.

Di halaman berikutnya yaitu halaman kedua yang juga berdenah persegi empat terdapat empat buah bangunan yang biasanya dipakai peziarah untuk berganti pakaian, dan untuk menunggu giliran berziarah. Untuk masuk ke halaman kedua ini orang harus melalui sebuah gapura paduraksa berdaun pintu dari kayu. Halaman kedua ini tampak sudah bersifat semi profan, karena peziarah sudah harus melepas alas kaki.

Halaman ketiga merupakan halaman utama yang dianggap paling sakral, karena di dalamnya terdapat makam-makam para pembentuk dinasti Mataram-Islam, raja-raja masa awal kerajaan Mataram-Islam, beberapa raja masa berikutnya, beserta kaum kerabat mereka. Seluruhnya ada 627 makam. Makam-makam yang tertua dilindungi oleh suatu cungkup besar yang terddiri dari tiga bagian. Makam ini dan bagian belakang masjid pernah menagalami kebakaran hebat yang merusakkan bangunan-bangunan makam. Renovasi kemudian dilakukan atas perintah Sunan Paku Buwana X, dengan menggunakan bahan bangunan dan gaya arsitektur jaman itu.

Tokoh-tokoh yang dimakamkan di dalam cungkup besar diantaranya adalah : Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, Nyi Ageng Nis, Panembahan Senapati, Panembahan Seda Ing Krapyak, Sultan Hamengku Buwana II, dan empat Adipati Paku Alam. Yang maenarik perhatian adalah makam Ki Ageng Mangir, yaitu salah seorang menantu sekaligus musuh Panemabahan Senapati. Makam Ki Ageng Mangir ini separoh sudah di dalam cungkup dan separoh berada di luar cungkup, sesuai dengan statusnya. Di samping itu juga terdapat banyak makam yang tidak dinaungi cungkup. Pemakaman ini sekarang sudah tertutup, dalam arti tidak ada lagi makam baru.

Benteng dan Jagang

Salah satu komponen penting Kota Gede adalah benteng dengan jagangnya yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan. Ada dua benteng di Kota Gede sebagaimana tampak dari sisa-sisanya. Ada yang tinggi temboknya masih tersisa 3 m, tetapi ada pula yang tinggal bekas-bekas fondasinya saja.

Benteng pertama adalah benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton, sedang benteng kedua adalah benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Di sisi luar kedua benteng itu tampak ada jagang, yaitu parit pertahanan selebar 15 – 25 m. Jagang itu ada yang tampak jelas merupakan buatan manusia karena jalurnya lurus, tetapi ada pula yang memanfaatkan aliran sungai Gajahwong dan sungai Manggis. Yang menarik perhatian bahwa cepuri berdenah empat persegi panjang yang tidak sepenuhnya simetris, sedang tembok baluwarti di beberapa tempat mengikuti aliran sungai yang dimanfaatkan sebagi jagang, tetapi di beberapa tempat lurus.

Sayang, sebagian besar benteng dan jagang tersebut dalam keadaan rusak berat oleh alam maupun oleh ketidakpedulian manusia, sehingga kemonumentalannya tidak lagi dikenal oleh masyarakat umum, kecuali oleh kelompok ahli dan peminat khusus. Padaha pada abad XVIII seorang Belanda utusan VOC mengira di tempat tersebut ada dua kota. Perkiraan itu tetunya muncul karena besarnya ukuran kedua benteng dan jagang itu.

Watu Gilang dan Watu Gatheng

Di kampung Kedaton yang terletak tidak jauh di selatan Masjid Agung Mataram dapat disaksikan watu gilang dan watu gatheng/watu cantheng yang sekarang tersimpan di dalam sebuah bangunan kecil. Watu gilang yang dipercaya orang sebagai tahta raja-raja Mataram-Islam berupa papan batu berwarna hitam legam. Pada sisi atas batu itu terdapat prasasti dalam berbagai bahasa. Keberadaan prasasti tersebut memunculkan pertanyaan : apa sesungguhnya fungsi watu gilang?

Watu cantheng berupa tiga batu bulat masif menyeruapi bola yang berwarna kekuning-kuningan. Menurut cerita ketiga “bola” batu itu adalah alat permainan Pangeran Rangga, salah seorang putera Panembahan Senapati. Namun, dalam realitanya mungkinkah benda-benda itu adalah peluru meriam kuna? Perlu diketahui bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram dibuat meriam berukuran besar yang dinamai Pancawura. Meriam yang sekarang berada di halaman Pagelaran Kraton Surakarta itu pernah dicoba dibawa ke penyerangan ke Batavia, tetapi ternyata sulit dilaksanakan karena ukurannya yang besar dan sarana-prasarananya tidak memadai.

Toponim

Sebagai suatu kota kuno di Kota Gede masih dapat dijumpai toponim (nama tempat) yang menggambarkan masyarakat penghuni Kota Gede, baik dari sisi profesiya, asl-usul, maupun kelompok sosialnya. Dari toponim juga dapat diketahui keberadaan bagian kota yang sekarang sudah tidak berbekas lagi serta sebaran perkampungan di dalam kota.

Toponim yang menggambarkan profesi penduduk diantaranya : Pandeyan (tempat para pandai besi), Jagalan (tempat para jagal), Mranggen (tempat para pembuat sarung keris); sedang yang menggambarkan status sosial diantaranya : Jayapranan (tempat tinggal Jayaprana), Singasaren (tempat tinggal Pg. Singasari), Mandarakan (tempat tinggal Adipati Mandaraka), Tegalgendhu (tempat tinggal komunitas Kalang). Toponim-toponim itu kebanyakan terletak di belahan utara kota. Adapun toponim yang menunjukkan bagian kota : Alun-Alun di sebelah timur Masjid Agung, dan Kedaton, yang berada di sebelah selatan Masjid Agung.

Rumah Tradisional

Sebagaimana disebutkan di depan Kota Gede tetap hidup sebagai suatu kota meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dengan demikian di kawasan itu masih dapat disaksikan rumah-rumah tradisional kuno, meskipun tidak sejaman dengan masa keemasan Kota Gede. Rumah tradisional Kota Gede dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan gaya arsitekturnya, yaitu rumah kalang disebut juga Sudagaran, dan tradisional Jawa. Contoh rumah Sudagaran adalah : Proyodranan, dan Ansor Silver, sedang rumah tradisional Jawa adalah Sopingen, between two gates. Menarik perhatian bahwa halaman rumah-rumah lama di Kota Gede biasanya dibatasi dengan pagar tembok yang tinggi dengan satu regol utama, sehingga jalan-jalan di perkampungan diapit oleh pagar-pagar tersebut.

Rumah Kalang adalah rumah yang didirikan oleh para saudagar kelompok kalang yang dahulu terkenal kaya-raya. Mereka tidak membangun rumah tradisional Jawa karena ada beberapa tatanan sosial yang tidak memungkinkan mereka membangun rumah semacam itu. meskipun mereka mampu melakukannya. Oleh karena itu mereka memilih gaya arsitektur Eropa yang dissesuaikan dengan budaya dan alam sekitar. Ciri-ciri rumah Kalang antara lain : tiang bergaya Corinthia-Romawi, ada hiasan berbentuk kaca patri yang berwarna-warni, banyak menggunakan tegel bermotif baik untuk lantai maupun untuk penutup dinding bagian bawah, pintu dan jendela banyak sertaberukuran besar. Adapun unsur tradisional yang digunakan ialah : susunan bilik masih menggunakan prinsip tiga senthong, gandhok, gadri, dapur, kamar mandi dan sumur.

Kesimpulan

Sebagaimana dapat dilihat dalam gambar bangunan di atas. Kotagede dapat dikategorikan sebagai produk akulturasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan unsur-unsur pendukung yang membentuk Kotagede memiliki unsur-unsur percampuran dan kesinambungan (continuity).

Keunikannya adalah bahwa percampuran berbagai unsur (Hindu, Budha, Islam ataupun Kejawen) tidak dalam posisi saling ’mengalahkan’, tetapi bersinergi dalam memperkuat keharmonisan ’khas’ Jawa. Kondisi tersebut diduga kuat terutama karena karakteristik tujuan tertinggi manusia Jawa adalah kebahagiaan (eudaimonia). Etika Jawa mengarahkan manusia pada suatu jalan yang menjamin pengalaman keselamatan dan ketenteraman hati. Manusia Jawa menemukan rasa selamat dalam keselarasannya dengan masyarakat (yang sekaligus berarti bahwa ia juga selaras dengan kekuatan-kekuatan kosmos).

Segi sosial bagi orang Jawa merupakan faktor menentukan dalam usahanya untuk mencapai ketenteraman hati. Etika Jawa menjelaskan bahwa seseorang tidak akan dapat memenuhi tuntutan-tuntutannya apabila belum sampai ke pengertian itu ("durung ngerti').

LAKU SENOPATI ING ALAGA

Setelah bersemedi di tengah samudera pantai Parangritis memohon kepada Gusti Allah agar dirinya diizinkan untuk menjadi raja di tanah jawa, Senopati lalu berjalan di atas air menuju darat, jalannya bagaikan berjalan diatas tanah saja hebatnya selama bersemedi ditengah samudera badannya tidak basah walau diterjang ombak berkali-kali. Begitu dekat dengan bibir pantai alangkah terkejutnya dia melihat Sunan Kalijaga berdiri disana. Dia lalu bersujud dan memohon ampun karena telah berani menyombongkan diri dengan ilmunya itu.

Sunan Kalijaga lalu berkata "Bangunlah hai putera Ki Gede Pamanahan, janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan keserakahan, enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka Tingkir!". Senopati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya padanya "apakah benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah jawa ini?", Senopati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi "meskipun itu berati kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang selama ini menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat alamrhum ayahmu mengabdi?", Senopati lalu menundukan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya meleleh lalu pelan berkata "Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti Allah namun belum mendapatkan petunjuknya, mungkin Gusti Allah memberikan petunjuknya lewat Kanjeng Sunan", Sunan Kalijaga tersenyum lalu kembali membuka mulutnya "Baiklah Senopati akan kuberikan pelajaran yang amat tinngi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat".

Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan wejangannya, lalu sambil duduk diatas sebuah batu karang dia memulai wejangannya kepada Senopati "Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat penghancur untuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebhatilan, diganti dengan yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena perombakan dar yang silam yang manusia rusak sendiri. Agama Islam lahir sebagai agama penutup, tidak akan ada lagi agama yang diridhai oleh Gusti Allah selain Islam, Kitab suci Al Qur'an lahir sebagai pelengkap dari semua kitab suci sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Memang sudah menjadi takdir Hyang Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelum Al Qur'an itu akan selalu memusuhi para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk masuk Islam, dan diantara para pemeluk Islam pun akan selalu muncul perbedaan, hal itu dikarenakan terbatasnya daya berpikir manusia yang tidak akan pernah bisa menyingkap takdir Illahi".

Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan tangannya lalu melanjutkan ucapannya "Tanpa persengketaan manusia tidak akan bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perangpun semua mahluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah seterusnya seperti alam raya yang terus bergerak gberputar tak pernah diam, demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti. Manusia sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi, kanak-kanak, dewasa sampai kemudian mati, bagi yang tawakal berserah diri kepada Gusti Allah tidak akan goncang hatinya. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia menjadi sadar, bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan. Perjalan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap, ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa. Usia hidup dialam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas nerima kepada yang telah digariskan oleh Gusti Allah."

Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya "Atma atau roh itu tak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh walaupun jasad yang menjadi temaptnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan wanita diasatukan, barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan barulah nampak, semenjak kecil hingga tua bangka, mereka tak menyadari bahwa mereka berasal dari tak tampak yaitu tiada. Kematian menjadi momok ketakutan bagi yang tak mengenal atmanya. Orang seringkali memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa orang saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran. Yang menguasai manusia dialam lahir ilaha pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung raga seluruhnya. Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia, sedangkan atma sudah ada sebelum manusia lahir kedunia. Tetapi janganlah menyekutukan atma dan pancaindra, karena didalam pancaindra itu terdapat nafsu-pikiran, itikad persaan dan akal. Siapa yang beritikad baik pikirannyapun akan tenang, nafsunya dapat terkendalikan, perasaannya akan lebih tajam, dan akalnyapun akan lebih cerdas. Siapa yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan akal budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi adalah yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang meniptakan alam semesta dengan segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam dalam diri manusia, setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu keduniawian. Siapa yang mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling esa berkuasa, maka dialah yang mengetahui kebenaran.

Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin pasang, namun Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit pikirannya menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada dimana-mana dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya berpikir pada seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun kejalan yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertaqwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan Illahi sambil menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat yang diridhai Gusti Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut prikebajikan adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan hawa nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. siapa yang melihat bahwa benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui segala yang terjadi akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima. Bangkitlah engkau Senopati anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah jawa ini! Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung dibawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung dibawah kekuasaan Sulta Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar. Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senopati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunujuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam, wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah jawa ini telah berpindah dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram akan mencapai puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah jawa ini. kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat".

Senopati mengankat kepalanya "Yang kanjeng Sunan wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti Allah mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?"

Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir kebawah. Lalu beranak sungai dihulu, dialirkan kesetiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja Illahi nmun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan Taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta darisetan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT".

Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Kota Gede "Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan membangun tembok dari batu bata disekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu membangun tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan. Wejangan itupun diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama islam di tanah jawa ini.

SEKIAN