Selasa, 08 Desember 2009

SEKILAS MENGENAI TATA RUANG KOTA GEDE YOGYAKARTA




Latar Belakang

Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif. Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja"

Konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.

Kebudayaan yang berkembang di Yogyakarta merupakan warisan kebudayaan Mataram, tetapi setelah terjadi palihan negari (pembagian Kerajaan Mataram menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti), terjadi perkembangan budaya khas Yogyakarta baik yang menyangkut perilaku, sosial-ekonomi, kesenian, bahasa, dan tradisi. Kawasan Kotagede menjadi masih menjaga warisan kebudayaan Mataram tersebut. Di kawasan ini banyak dijumpai berbagai peninggalan bernilai sejarah dan budaya Mataram Islam yang masih terjaga dan terpelihara dengan baik.

Tata kehidupan masyarakat Kotagede yang nonagraris yakni mengandalkan usaha kerajinan, pertukangan dan usaha sejenis yang dahulu memang menjadi bagian dari kehidupan istana masih tetap terpelihara sampai kini dan memberikan atmosfer kehidupan budaya (living culture) yang unik serta memberikan warna khas bagi kebudayaan Yogyakarta.

Secara umum Kotagede dibangun atas dasar konsep kosmologis Jawa- Islam yang mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungawab, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Pembahasan

1. Sejarah Dan Budaya Kota Gede

Kota Gede merupakan cikal bakal keberadaan kerajaan Mataram Islam, baik dalam aspek politik maupun dalam aspek budaya. Mengapa? Karena Kota Gede adalah kota kerajaan pertama di dalam sejarah kerajaan Mataram Islam. Sebagai kota kerajaan yang muncul pada akhir abad XVI Kota Gede mempunyai berbagai komponen kota sesuai dengan kebutuhan dan jamannya. Sebagian komponen tersebut masih meninggalkan jejaknya dalam bentuk pusaka budaya bendawi, seperti bangunan, dan pusaka budaya non bendawi, seperti nama-nama tempat, tradisi.

Pada kota kuno, terutama kota kerajaan masa Islam di Jawa, biasanya komponen itu tersusun dalam suatu pola tata letak tertentu. Diantaranya, di pusat kota terdapat kraton di sisi selatan Alun-Alun Utara, Masjid Agung di sisi barat alun-alun yang sama, dan pasar di sisi utara atau tmur laut Alun-Alun Utara. Di luar pusat kota terdapat pemukiman penduduk kota, taman, pemakaman kerajaan, atau komponen lainnya. Demikian pula halnya di Kota Gede.

Di dalam sejarah diketahui bahwa Kota Gede sejak masa pemerintahan Sunan Amangkurat I tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Namun karena di situ terdapat makam para pendiri kerajaan, Kota Gede tetap dianggap tempat yang sakral. Dengan demikian kehidupan di kota Gede tetap semarak, bahkan akhir-akhir ini makin berkembang adanya. Oleh karena itu ada pula tinggalan-tinggalan di Kota Gede yang berasal dari masa pra Perang Dunia II, seperti rumah-rumah masyarakat Kalang, dan rumah-rumah dengan arsitektur Jawa yang khas.

Kotagede adalah salah satu kota kuno di Propinsi DI. Yogyakarta yang tetap hidup dan semakin berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakat maupun keruangannya. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan meninggalkan warisan arkeologis berupa keraton atau kedhaton, benteng, tembok keliling, jagang, cepuri, masjid, makam, dan permukiman kuna. Komponen-komponen itu turut membentuk dan mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pendukungnya.

Ketika berdiri sebagai ibukota Mataram, Kotagede masih merupakan wilayah Kerajaan Pajang. Melalui proses panjang dengan berbagai pergolakan, Mataram menjadi kerajaan yang mampu menggantikan dominasi kekuasaan kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, ibu kota Mataram mengalami perpindahan dari Kotagede ke Kerta, Plerét, kemudian pindah lagi ke Kartasura, dan akhirnya menetap di Surakarta. Namun demikian, tidak seperti Kerta dan Plerét, Kotagede justru masih menyisakan tinggalan arkeologis yang jauh lebih bermakna. Selain itu, ia tetap eksis sebagai kota lama yang bertahan dengan dinamikanya hingga saat ini.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Kotagede masa lalu merupakan kota pusat kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kotagede disebut sebagai pusat kegiatan politik karena ia menjadi pusat pemerintahan kerajaan Mataram sejak pemerintahan Senapati hingga pusat kerajaan dipindahkan ke Kerta oleh Sultan Agung.

Pusat kegiatan ekonomi dapat dilihat dari penyebutan Kotagede dengan istilah Pasar Gedhé. Pada waktu itu pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan, sedangkan gedhé (besar) di belakang kata pasar menunjukkan skala pasar sebagai entitas yang besar sehingga menjadi pusat perdagangan baik hasil bumi maupun hasil industri pada masanya.

Kotagede juga disebut sebagai pusat kegiatan sosial budaya, di antaranya karena ia merupakan pusat kegiatan pembuatan kerajinan tangan (kriya), seperti yang tampak hingga sekarang. Selain itu berbagai kesenian dan tradisi masyarakat Kotagede juga masih terpelihara dengan baik. Kesenian itu antara lain salawatan, siteran, srandul, karawitan, ketek ogleng, wayang tingklung, ketoprak ongkek, macapatan, campursari, keroncong, dan lain sebagainya.

2. Tata Ruang Kotagede

Kotagede dibangun oleh Ki Gede Pamanahan atau lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram, setelah meninggal lalu dilanjutkan oleh Danang Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Panembahan Senopati. Pada masa pembangunan oleh Senopati inilah Kotagede berkembang secara pesat, tembok-kota mulai dibangun tinggi-tinggi, kemewahan Kotagede mampu menyaingi Ibukota Kesultanan Pajang. Panembahan Senopati membangun Kotagede ini konon berdasarkan kepada petunjuk yang diberikan oleh Sunan Kalijaga kepadanya. Pada awalnya tata ruang Kotagede dibangun secara tidak beraturan karena hanya hendak dijadikan Kademangan (desa) yang diberikan Sultan Hadiwijaya kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya yang berhasil membunuh Arya Penangsang, setelah pada Masa Senopati barulah Kotagede dibangun menjadi semacam Kotaraja untuk menyaingi Pajang. Walaupun tata ruangnya masih kurang teratur, disana-sini telah mengalami perbaikan atas petunjuk Sunan Kalijaga, malah di alun-alun kota ditanami Beringin Kurung, sebagai bukti bahwa Kotagede telah menjadi Kotaraja Mataram dan sebagai sarana penghadapan rakyat kepada Senopati.

Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan kota-kota lainnya yang ada di jawa, yaitu dibangun berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa- Islam yang mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungawab, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Upaya untuk mendapatkan keserasian tersebut dilakukan manusia Kotagede dalam keseluruhan kehidupannya, termasuk dalam perencanaan kota, arsitektur bangunan, kesenian yang berkembang, vegetasi dan hewan klangenan yang dimilikinya. Banyaknya kuburan dan tempat peribadatan di Kotagede mencerminkan keadiluhungan Kotagede, sebab sebuah penataan ruang fisik buatan yang masih mengingat perhambaan manusia di hadapan Tuhan dan disiapkan lahan untuk kematian, justru mencerminkan kesadaran luhur kemanusiaan ruang dan waktu, masing-masing dengan nilai kepentingan dalam keutuhan saling melengkapi. Sistem Kemapanan kebudayaan Kotagede dapat diamati karena nilai budaya Jawa Islam yang dijadikan landasan penataan Kotagede secara konseptual mengatur adanya tingkatan-tingkatan dalam tata nilai ini pula yang mengatur bagaimana manusia Kotagede harus berperilaku serta beraktivitas di dalam ruang maupun waktu kehidupannya. Kemudian secara tegas mempengaruhi aspek fisik sebagai wadah berlangsungnya kegiatan manusia Kotagede.

Kotagede berorientasi pada pajupat, sebuah konsep yang diyakini dapat memelihara getaran spiritual, sehingga tercipta keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Pajupat, memiliki empat kekuatan yang mendukung dan merupakan tempat yang mampu menggali kuasa-kuasa ’metafisis’. Konsep denah dibuat mengikuti sepanjang garis lurus poros aksis dan dipercaya memiliki kekuatan yang disebut Krendowahono.

Empat kekuatan alam tersebut berasal dari Gunung Merapi yang berada di utara; matahari terbit dan Gunung Lawu di timur; Samudra yang besar di selatan; dan Kali Progo disebelah barat. Keempat kekuatan tersebut hadir bersamaan dalam konsep untuk menjaga keselarasan (harmony).

Kotagede sebagai Kotaraja tidak semata-mata bentuk dan fungsi, tetapi hal-hal yang bersinggungan dengan nilai, makna dan arti merupakan hal-hal yang melandasinya, seperti tercermin dalam ungkapan Panembahan Senopati sebagai berikut:

“Kotagede, haywa kongsi dinulu wujude wewangunan kewala, nanging sira padha nyumurupana sarta hanindakna maknane kang sinandi, dimen dadya tuntunan laku wajibing urip hing dunya tumekeng delahan.”
Artinya:
“Janganlah Kota Gede hanya dilihat dari wujud/bentuk bangunan fisiknya saja, tetapi hendaknya diketahui, dimengerti serta dijalankan makna pesan-pesan yang tersirat dan tersurat, agar dapat menjadi tuntunan menjalankan kewajiban hidup di dunia dan akhirat”.

Kotagede masih menyimpan peninggalan-peninggalan penting seperti altar singgasana, batu gilang, makarn Hasta Rengga, masjid Agung, kolam pemandian Seliran, situs Kraton lain dan toponim kampung yang mencerminkan tata kota tidak pernah kehilangan kewibawaan sebagai pusat perhatian tradisi Jawa-lslam, khususnya karena terdapat makam pendiri kerajaan aslinya.

Kotagede merupakan situs bekas ibu kota pertama pusat pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam. Sesuai dengan fungsnya sebagai pusat pemerintahan, Kotagede tampak telah ditata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, serta memiliki tata ruang dan komponen-komponen kota seperti lazimnya kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Islam.

Tata ruang Kotagede disusun berdasarkan pembagian fungsi atas ruang. Pada tata ruang Kotagede lama Alun – alun yang berfungsi sebagai pusat kegiatan kota terletak didepan Kraton. Dan Masjid yang berfungsi sebagai pusat ibadah dan dakwah terletak sebelah barat. Pasar sebagai pusat perekonomian terletak di sebelah utara alun – alun. Aktivitas ekonomi kerajinan di pisah-pisahkan sehingga menghasilkan nama kampung sesuai aktivitas penduduk setempat. Kota di kelilingi Benteng dengan Jagang disebelah luar.

Orientasi tata kota lama Kotagede dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan yang ada. Berikut ini akan diuraikan secara singkat unsur-unsur kota yang ada di Kotagede berdasarkan data arkeologis, toponim, dan legenda.

a. Pasar

Komponen kota yang signifikan di Kotagede adalah pasar yang berfungsi menunjang perekonomian masyarakat. Di suatu pusat pemerintahan di Jawa, pasar biasanya ditempatkan di dekat kraton, yaitu di sebelah utara alun-alun. Tradisi penentuan tata letak pasar di lokasi yang strategis telah dilakukan jauh sebelum Kerajaan Mataram Islam terbentuk. Penempatan pasar di sebelah utara kraton dan di dekat jalan seperti yang juga terjadi di Kotagede itu bahkan telah disebut dalam kitab Negara Kertagama, pupuh VIII dan XII.

Pada kasus Kotagede, pasar sudah terlebih dahulu ada sebelum dibangunnya Kraton Mataram Awal. Ini terlihat dari gelar Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram-Islam yang bertahta di Kotagede, yaitu Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Gelar tersebut diperoleh sebelum Senapati menjadi Raja Mataram. Berdasarkan gelar tersebut, dapat diperkirakan bahwa toponim Lor Pasar dahulu merupakan kediaman Panembahan Senopati sebelum Kraton terbentuk.

Pasar Gede yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan Mataram itu tetap menjadi pasar kerajaan sekaligus pusat perekonomian dan perdagangan. Komponen-komponen kota lain, seperti kraton, masjid, dan alun-alun dibuat dan ditempatkan sesuai dengan tata letak pola tradisional, yaitu di sebelah selatan pasar. Dibandingkan dengan letak alun-alun dan masjid, maka pasar berada pada bagian paling luar dari kraton itu. Letak pasar sebagai pusat perekonomian dan perdagangan menjadi sangat strategis, dengan jalan utama di dekatnya sebagai sarana distribusi serta transaksi barang dan jasa. Keberadaan sebuah pasar di dalam suatu kota dapat dipandang sebagai focus point yang memunculkan tempat-tempat tinggal kelompok masyarakat penghasil barang dan jasa di sekitarnya.

Pasar Gedhe sekarang masih tetap merupakan pasar tradisional yang menjual berbagai macam produk tradisional dan produk lainnya. Di pasar yang sudah mengalamI rehabilitasi ini transaksi jual beli masih dilakukan secara tradisional dengan proses tawar menawar. Letak yang strategis dari pasar ini menjadikannya sebagai salah satu titik perhatian di Kotagede.

b. Sisa-sisa Kraton

Istana (kraton) Kotagede berada di tengah area yang dahulu dikelilingi tembok kraton, yakni di lingkungan Kelurahan Singosaren, di Kampung Dalem. Di lokasi itu terdapat nama kedhaton yang mempunyai arti kata yang sama dengan kraton (istana) sebagai tempat pemerintahan atau tempat tinggal raja. Keberadaan kedhaton di lokasi itu hingga kini diyakini sebagai tempat kediaman penguasa Mataram Islam pada masa awal yaitu Panembahan Senopati.

Data arkeologis yang memperkuat hal tersebut adalah sisa-sisa tembok keliling (cepuri) sebagai pengaman dan sekaligus batas kompleks istana. Kondisi cepuri saat ini sudah banyak yang rusak, bahkan di beberapa tempat sudah rata dengan tanah. Bagian sudut cepuri terlihat masih utuh di bagian tenggara area Kedhaton. Penduduk setempat menyebutnya dengan istilah bokong semar karena bentuknya yang menyudut. Untuk memperkuat upaya pertahanan wilayah, di luar cepuri dibuat parit (jagang). Keberadaan jagang di luar cepuri masih dapat dilihat di sisi timur, selatan, dan barat. Pada saat ini jagang-jagang tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai kebun atau halaman rumah.

Di lokasi Kedhaton tersebut juga terdapat nama Kampung Dalem. Pada masa kerajaan Mataram, Dalem merupakan tempat tinggal bagi golongan bangsawan dan elit politik. Oleh karena itu, letak Dalem berdekatan dengan Kraton. Pada saat ini daerah Dalem merupakan kompleks makam Astanarengga yaitu kompleks makam para bangsawan keturunan/sentana raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Di areal ini terdapat pula, watu gilang, watu canteng, lapik arca, dan sebuah tempayan batu.

c. Alun-alun

Nama Kampung Alun-alun di sebelah utara Situs Kedhaton menandai keberadaan alun-alun Kotagede pada masa. Alun-alun merupakan komponen kota yang penting karena berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara kebesaran dan kegiatan istana lainnya, termasuk penyiaran agama. Oleh karena itu, letak alun-alun biasanya berdekatan dengan Masjid Agung sehingga secara fungsional dapat pula dikatakan sebagai pelengkap bangunan masjid. Pada saat ini Kampung Alun-alun yang diperkirakan sebagai alun-alun Kerajaan Mataram telah dipadati permukiman penduduk.

d. Kompleks Masjid Agung dan Makam Agung

Kompleks Masjid Agung dan Makam Agung terletak di sebelah barat Alun-alun, dibatasi oleh jalan membujur utara-selatan. Di tempat ini terdapat dua pohon beringin yang menurut legenda ditanam oleh Sunan Kalijaga. Di sebelah barat pohon beringin terletak bangunan Masjid Agung yang digunakan oleh umat Islam. Di sebelah barat masjid terletak Makam Agung sebagai makam raja-raja Mataram beserta keturunannya.

e. Tembok Keliling

Saat ini tembok keliling kraton dan tembok keliling kota hanya berupa reruntuhan batu bata dan batu putih. Batu-batu ini sekarang banyak digunakan sebagai bahan bangunan oleh penduduk sekitar. Kedua tembok keliling itu dibangun oleh Sutawijaya (kemudian bergelar Panembahan Senapati) setelah ia menggantikan ayahnya sebagai penguasa tanah Mataram, dengan maksud untuk memperkuat wilayahnya.

Pembangunan tembok-tembok keliling dan kelengkapannya dikerjakan pada tahun 1587 M, di bawah pengawasan Senapati Kediri, yaitu bangsawan Kediri yang menyerah kepada Sutawijaya. Setelah membangun tembok keliling kraton dan juga tembok keliling kota, Sutawijaya menyerang dan berhasil mengalahkan Pajang. Ia kemudian menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama, dan menjadikan Kotagede sebagai ibukota kerajaannya.

f. Permukiman Penduduk

Berdasarkan peninggalan arkeologis dan toponim dapat diketahui bahwa Kotagede terdiri atas sejumlah kampung yang dihuni oleh kelompok masyarakat tertentu, yang ditunjukkan antara lain melalui nama-nama kampung yang berhubungan dengan profesi, status sosial, atau nama seorang tokoh. Toponim di Kotagede yang dapat dirunut hingga saat ini adalah Pandheyan, Samakan, Sayangan, dan Mranggen (perajin), Lor Pasar, Prenggan, Trunojayan, Jagaragan, Boharen, Purbayan, Jayapranan, Singosaren, Mandarakan (nama tokoh dan bangsawan), Kauman, Mutihan (rohaniawan dan ulama), Alun-alun, Kedhaton, dan Dalem (komponen istana). Yang berhubungan dengan tumbuhan misalnya Patalan dan Basen. Selain itu, terdapat Kampung Tegalgendu yang terletak di luar benteng batas wilayah atau di sebelah barat sungai Gajah Wong.

g. Jalan Utama

Jalan utama di Kotagede terletak di sebelah utara pasar. Jalan ini berpotongan membentuk bujur sangkar dan mengikuti arah mata angin utama.

Beberapa pusaka budaya bendawi yang terdapat di Kota Gede adalah :

Masjid Agung Mataram

Masjid yang merupakan salah satu komponen asli Kota Gede ini berdiri di selatan kawasan Pasar Kota Gede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan, Bantul. Di halaman luar ada sepasang bangsal terbuka, dan beringin tua yang rindang. Di kanan kiri jalan masuk berdert rumah para abdi dalem, dan di ujung jalan itu berdiri sebuah gapura berbentuk paduraksa dengan atap bersusun tiga dan daun pintu dari kayu berukir. Seluruh halaman masjid termasuk makam di belakangnya dilingkungi oleh pagar tembok tinggi. Di belakang gapura tersebut berdiri sebuah rana/kelir sehingga untuk memasuki halaman masjid orang harus berbelok ke kanan.

Gaya arsitektur Masjid Agung Mataram adalah arsitektur masjid Nusantara, dengan atap tumpang bersusun tiga, mempunyai serambi dan masih ada parit yang mengelilingi masjid di tiga sisi. Dinding ruang utama dibuat dari balok-balok batu putih yang disusun tanpa spesi. Di dalam ruang utama masjid dapat dilihat empat saka guru dari kayu jati utuh, dengan usuk dan reng yang disusun ngruji payung, karena tidak ada plafon yang berfungsi sebagai langit-langit. Di dalam ruang utama tampak adanya ruang pengimaman/mihrab di dinding sebelah barat, dan mimbar kayu berukir. Di antara ornamen yang tertera adalah ragam geometris, sulur-suluran bahkan di kaki mimbar ada ornamen berbentuk sepasang binatang yang distilir dengan sempurna sehingga bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi.

Pasareyan Hastana Kitha Ageng

Nama tersebut di atas adalah sebutan untuk pemakaman kerajaan Mataram-Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Mataram, dan dibangun bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid yaitu tahun 1511 Saka = 1589 M. Hastana Kitha Ageng adalah pemakaman kerajaan yang pertama dibangun oleh dinasti Mataram-Islam. Pembangunan pemakaman kerajaan ini dilaksanakan atas perintah Panembahan Senapati dan dilakukan secara bertahap, bahkan sesudah Panembahan Senapati meninggal pun masih terus dilanjutkan. Tampaknya sebelum Panembahan Senapati memerintahkan pembangunan pemakaman itu, sudah ada beberapa tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut, diantaranya Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Panembahan Senapati. Setelah meninggal, ia dimakamkan di sebelah barat makam Ki Ageng Pemanahan sesuai dengan wasiatnya.

Seperti halnya Masjid Agung Mataram, pemakaman kerajaan ini juga dikelola Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta secara bersama-sama. Oleh karena itu, kepada peziarah dikenakan tata cara adat dalam hal berpakaian dan hari ziarah. Pakaian yang harus dikenakan adalah pakaian Jawa untuk menghadap raja tanpa mengenakan perhiasan, sedangkan hari ziarah adalah hari Senin dan Jumat. Secara umum, pemakaman ini terdiri dari dua unsur yaitu makam dan sendang (kolam) di sebelah barat daya. Adapun pintu masuk ke pemakaman berada di sebelah selatan halaman masjid. Pemakaman kerajaan ini mempunyai pagar keliling dari batu padas dan bata, serta terdiri dari tiga bagian/halaman. Halaman pertama berdenah segi empat seluas 27,5 x 30 m. Pada halaman ini terdapat sebuah bangsal tempat para abdi dalem berjaga dan mengurus administrasi peziarah. Halaman pertama ini bersifat profan, karena bersifat terbuka, dan peziarah dapat mengenakan pakaian sehari-hari.

Di halaman berikutnya yaitu halaman kedua yang juga berdenah persegi empat terdapat empat buah bangunan yang biasanya dipakai peziarah untuk berganti pakaian, dan untuk menunggu giliran berziarah. Untuk masuk ke halaman kedua ini orang harus melalui sebuah gapura paduraksa berdaun pintu dari kayu. Halaman kedua ini tampak sudah bersifat semi profan, karena peziarah sudah harus melepas alas kaki.

Halaman ketiga merupakan halaman utama yang dianggap paling sakral, karena di dalamnya terdapat makam-makam para pembentuk dinasti Mataram-Islam, raja-raja masa awal kerajaan Mataram-Islam, beberapa raja masa berikutnya, beserta kaum kerabat mereka. Seluruhnya ada 627 makam. Makam-makam yang tertua dilindungi oleh suatu cungkup besar yang terddiri dari tiga bagian. Makam ini dan bagian belakang masjid pernah menagalami kebakaran hebat yang merusakkan bangunan-bangunan makam. Renovasi kemudian dilakukan atas perintah Sunan Paku Buwana X, dengan menggunakan bahan bangunan dan gaya arsitektur jaman itu.

Tokoh-tokoh yang dimakamkan di dalam cungkup besar diantaranya adalah : Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, Nyi Ageng Nis, Panembahan Senapati, Panembahan Seda Ing Krapyak, Sultan Hamengku Buwana II, dan empat Adipati Paku Alam. Yang maenarik perhatian adalah makam Ki Ageng Mangir, yaitu salah seorang menantu sekaligus musuh Panemabahan Senapati. Makam Ki Ageng Mangir ini separoh sudah di dalam cungkup dan separoh berada di luar cungkup, sesuai dengan statusnya. Di samping itu juga terdapat banyak makam yang tidak dinaungi cungkup. Pemakaman ini sekarang sudah tertutup, dalam arti tidak ada lagi makam baru.

Benteng dan Jagang

Salah satu komponen penting Kota Gede adalah benteng dengan jagangnya yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan. Ada dua benteng di Kota Gede sebagaimana tampak dari sisa-sisanya. Ada yang tinggi temboknya masih tersisa 3 m, tetapi ada pula yang tinggal bekas-bekas fondasinya saja.

Benteng pertama adalah benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton, sedang benteng kedua adalah benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Di sisi luar kedua benteng itu tampak ada jagang, yaitu parit pertahanan selebar 15 – 25 m. Jagang itu ada yang tampak jelas merupakan buatan manusia karena jalurnya lurus, tetapi ada pula yang memanfaatkan aliran sungai Gajahwong dan sungai Manggis. Yang menarik perhatian bahwa cepuri berdenah empat persegi panjang yang tidak sepenuhnya simetris, sedang tembok baluwarti di beberapa tempat mengikuti aliran sungai yang dimanfaatkan sebagi jagang, tetapi di beberapa tempat lurus.

Sayang, sebagian besar benteng dan jagang tersebut dalam keadaan rusak berat oleh alam maupun oleh ketidakpedulian manusia, sehingga kemonumentalannya tidak lagi dikenal oleh masyarakat umum, kecuali oleh kelompok ahli dan peminat khusus. Padaha pada abad XVIII seorang Belanda utusan VOC mengira di tempat tersebut ada dua kota. Perkiraan itu tetunya muncul karena besarnya ukuran kedua benteng dan jagang itu.

Watu Gilang dan Watu Gatheng

Di kampung Kedaton yang terletak tidak jauh di selatan Masjid Agung Mataram dapat disaksikan watu gilang dan watu gatheng/watu cantheng yang sekarang tersimpan di dalam sebuah bangunan kecil. Watu gilang yang dipercaya orang sebagai tahta raja-raja Mataram-Islam berupa papan batu berwarna hitam legam. Pada sisi atas batu itu terdapat prasasti dalam berbagai bahasa. Keberadaan prasasti tersebut memunculkan pertanyaan : apa sesungguhnya fungsi watu gilang?

Watu cantheng berupa tiga batu bulat masif menyeruapi bola yang berwarna kekuning-kuningan. Menurut cerita ketiga “bola” batu itu adalah alat permainan Pangeran Rangga, salah seorang putera Panembahan Senapati. Namun, dalam realitanya mungkinkah benda-benda itu adalah peluru meriam kuna? Perlu diketahui bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram dibuat meriam berukuran besar yang dinamai Pancawura. Meriam yang sekarang berada di halaman Pagelaran Kraton Surakarta itu pernah dicoba dibawa ke penyerangan ke Batavia, tetapi ternyata sulit dilaksanakan karena ukurannya yang besar dan sarana-prasarananya tidak memadai.

Toponim

Sebagai suatu kota kuno di Kota Gede masih dapat dijumpai toponim (nama tempat) yang menggambarkan masyarakat penghuni Kota Gede, baik dari sisi profesiya, asl-usul, maupun kelompok sosialnya. Dari toponim juga dapat diketahui keberadaan bagian kota yang sekarang sudah tidak berbekas lagi serta sebaran perkampungan di dalam kota.

Toponim yang menggambarkan profesi penduduk diantaranya : Pandeyan (tempat para pandai besi), Jagalan (tempat para jagal), Mranggen (tempat para pembuat sarung keris); sedang yang menggambarkan status sosial diantaranya : Jayapranan (tempat tinggal Jayaprana), Singasaren (tempat tinggal Pg. Singasari), Mandarakan (tempat tinggal Adipati Mandaraka), Tegalgendhu (tempat tinggal komunitas Kalang). Toponim-toponim itu kebanyakan terletak di belahan utara kota. Adapun toponim yang menunjukkan bagian kota : Alun-Alun di sebelah timur Masjid Agung, dan Kedaton, yang berada di sebelah selatan Masjid Agung.

Rumah Tradisional

Sebagaimana disebutkan di depan Kota Gede tetap hidup sebagai suatu kota meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dengan demikian di kawasan itu masih dapat disaksikan rumah-rumah tradisional kuno, meskipun tidak sejaman dengan masa keemasan Kota Gede. Rumah tradisional Kota Gede dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan gaya arsitekturnya, yaitu rumah kalang disebut juga Sudagaran, dan tradisional Jawa. Contoh rumah Sudagaran adalah : Proyodranan, dan Ansor Silver, sedang rumah tradisional Jawa adalah Sopingen, between two gates. Menarik perhatian bahwa halaman rumah-rumah lama di Kota Gede biasanya dibatasi dengan pagar tembok yang tinggi dengan satu regol utama, sehingga jalan-jalan di perkampungan diapit oleh pagar-pagar tersebut.

Rumah Kalang adalah rumah yang didirikan oleh para saudagar kelompok kalang yang dahulu terkenal kaya-raya. Mereka tidak membangun rumah tradisional Jawa karena ada beberapa tatanan sosial yang tidak memungkinkan mereka membangun rumah semacam itu. meskipun mereka mampu melakukannya. Oleh karena itu mereka memilih gaya arsitektur Eropa yang dissesuaikan dengan budaya dan alam sekitar. Ciri-ciri rumah Kalang antara lain : tiang bergaya Corinthia-Romawi, ada hiasan berbentuk kaca patri yang berwarna-warni, banyak menggunakan tegel bermotif baik untuk lantai maupun untuk penutup dinding bagian bawah, pintu dan jendela banyak sertaberukuran besar. Adapun unsur tradisional yang digunakan ialah : susunan bilik masih menggunakan prinsip tiga senthong, gandhok, gadri, dapur, kamar mandi dan sumur.

Kesimpulan

Sebagaimana dapat dilihat dalam gambar bangunan di atas. Kotagede dapat dikategorikan sebagai produk akulturasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan unsur-unsur pendukung yang membentuk Kotagede memiliki unsur-unsur percampuran dan kesinambungan (continuity).

Keunikannya adalah bahwa percampuran berbagai unsur (Hindu, Budha, Islam ataupun Kejawen) tidak dalam posisi saling ’mengalahkan’, tetapi bersinergi dalam memperkuat keharmonisan ’khas’ Jawa. Kondisi tersebut diduga kuat terutama karena karakteristik tujuan tertinggi manusia Jawa adalah kebahagiaan (eudaimonia). Etika Jawa mengarahkan manusia pada suatu jalan yang menjamin pengalaman keselamatan dan ketenteraman hati. Manusia Jawa menemukan rasa selamat dalam keselarasannya dengan masyarakat (yang sekaligus berarti bahwa ia juga selaras dengan kekuatan-kekuatan kosmos).

Segi sosial bagi orang Jawa merupakan faktor menentukan dalam usahanya untuk mencapai ketenteraman hati. Etika Jawa menjelaskan bahwa seseorang tidak akan dapat memenuhi tuntutan-tuntutannya apabila belum sampai ke pengertian itu ("durung ngerti').

6 komentar: