Selasa, 05 Januari 2010
PANGERAN DIPONEGORO "PAHLAWAN ISLAM DARI TANAH JAWA"
Sekilas tentang Perang Jawa (Java Oorlog, 1925 - 1830):
Menurut catatan sejarah, pada Mei 1825 Belanda punya rencana membuat sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalrejo, pinggiran Yogyakarta. Proyek itu akan melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro yang membuat Diponegoro tersinggung. Ia menentang keras rencana itu.
Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Tegalrejo berhasil direbut oleh Belanda. Namun Diponegoro berhasil melarikan diri dan mencanangkan panji pemberontakan. Sejak saat itu hingga pertengahan 1830 meletuslah perlawanan yang disebut Perang Jawa (Java Oorlog), pusatnya di daerah Yogyakarta. Sekira 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pemberontakan ini juga menyerang orang-orang Cina karena mereka dituding telah bertindak curang dan juga banyak mendapat kemudahan dari pihak Belanda.
15 Oktober 1826, Diponegoro aka Ngabdul Kamidi mengalami kekalahan di Gawok, dekat Surakarta. Sejak saat itulah sang pangeran semakin menyadari pada akhirnya ia tak akan berhasil mewujudkan niat dan rencananya yang telah dicanangkan sejak memulai peperangan yaitu untuk menegakkan keluhuran agama Islam di seluruh Tanah Jawa:
"Mamangun luhuripun Agami Islam wonten ing Tanah Jawi"
Sasaran ganda moral dan agama itu memang sudah tumbuh dalam diri sang pangeran sejak ia muda dan hidup sebagai santri yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pengembaraan fisik dan rohani itu membuat ia menampik semua jabatan politik: "mapan ingsun banget lumuh". Ia tanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian rasul yang serba putih.
Pada 1827 Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng. Gerombolan pemberontak dipaksa bertempur sebelum mereka sempat tumbuh dalam jumlah besar. Pasukan Diponegoro terjepit. Penyakit kolera, malaria, disentri merajalela menyerang kedua belah
pihak.
Pada April 1829 Kyai Modjo tertangkap, lalu diasingkan. Pada September 1829, Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro, dan panglima utamanya Sentot Alibasyah Syahbana menyerah.
Pada 28 Maret 1830 Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang, tetapi itu hanya taktik Belanda saja. Diponegoro dinaikkan kereta tahanan untuk dibawa ke Semarang. Lalu dengan kapal laut ia diasingkan di Manado, kemudian di Makassar.
Berakhirlah Perang Jawa yang merupakan perlawanan elite bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban. Di pihak pemerintah menelan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 berkebangsaan Indonesia, 200.000 orang Jawa tewas. Sehingga jumlah penduduk Yogyakarta kala itu menyusut separuhnya.
Asal-usul Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
* 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC
* 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
* 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
* 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
* 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
* 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
* 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
Kisah yang saya cuplikkan diatas berkesimpulan, bahwa sebenarnya Pangeran Diponegoro ingin mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Tanah Jawa - minimal di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia dan para pengikutnya rela melepas busana kerabat kraton Jawanya dengan busana khas Timur Tengah. Kala itu sungguh amat jarang seorang bangsawan kraton keturunan Mataram mau menanggalkan tradisi kejawaannya demi apa yang diyakininya. Ia rela menyerahkan tahta kerton Yogyakarta Hadiningrat keapada adiknya Mas Jarot (Hamengku Buwono IV) demi menyebarkan dan menegakan agama islam yang kala itu mulai rusak nilai-nilai keislamannya oleh perilaku orang-orang jawa yang terpengaruh gaya hidup belanda yang jauh dari nilai islaminya.
Tercatat pada 1813 wilayah Mataram pecah menjadi empat dengan naik tahtanya Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Wilayah lainnya menjadi milik Kasunanan dan Mangkunegaran yang berkedudukan di Surakarta. Di Yogyakarta berbentuk Kasultanan. Ini bisa menjadi penelitian yang amat menarik terkait dengan proses Islamisasi di Indonesia pada masa lalu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar